Pesantren terdiri dari lima elemen pokok, yaitu : Kyai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pondok pesantren dan yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainya. Sekalipun elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pondok pesantren, tetapi Kyai memainkan peran begitu penting dalam dunia pesantren.
a. Kyai (Tuan Guru)
Istilah Kyai (di Jawa), yang berkembang dikalangan masyarakat Islam suku Sasak Lombok akrab dengan sebutan Tuan Guru. Tuan Guru adalah tokoh agama yang dipandang sangat menguasai ajaran agama Islam dalam berbagai aspeknya. Tuan guru adalah kata gabungan yang terdiri dari dua suku kata tuan” dan “guru”. Tuan dalam etimologi Sasak (suku di pulau Lombok) yang berarti orang yang telah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah (Makkah al-Mukarromah), dan guru berarti orang yang mengajar. Dalam terminologi Sasak, Tuan Guru adalah sekelompok orang yang ahli dalam bidang ilmu keagamaan (Islam) yang mengajar dan membimbing jama’ah atau murid-muridnya dalam suatu lembaga (majelis) formal di madrasah atau pesantren dan atau lembaga non-formal seperti di masjid-masjid, surau atau pesantren. Eksistensi Tuan Guru sebagai tokoh dan pilar stabilitas pembangunan di pulau Lombok memainkan peran yang sangat signifikan. Mereka terkenal karena kontribusi dan keterlibatannya yang sangat intensif baik dalam pengembangan dakwah maupun permainan politik kekuasaan (sebelum dan sesudah kemerdekaan).
Keberadaan seorang Tuan Guru dalam lingkungan sebuah pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas Tuan Guru memperlihatkan peran otoriter disebabkan Tuan Guru-lah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren. Oleh sebab ketokohan Tuan Guru di atas banyak pesantren akhirnya bubar lantaran ditinggal wafat olah Tuan Guru-nya. Sementara Tuan Guru tidak memiliki keturunan yang dapat melanjutkan usahanya. Sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah pesantren, Tuan Guru mengatur irama perkembangan dan kelangsungan kehidupan sebuah pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karismatik, dan ketrampilannya, Sehingga tidak jarang pesantren tidak memiliki manajemen pendidikan yang rapi. Segala sesuatu terletak pada kebijaksanaan dan keputusan Tuan Guru. Tuan Guru juga dapat dikatakan sebagai tokoh non formal yang ucapan dan segala perilakunya akan dicontoh oleh komunitas disekitarnya. Tuan Guru berfungsi sebagai sosok model atau teladan yang baik (uswah hasanah) tidak saja bagi santrinya tetapi juga bagi seluruh komunitas disekitar pesantren. Meskipun demikian Tuan Guru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mendidik para santrinya ketimbang hal-hal lain.
b. Masjid
Masjid merupakan sentral bagi pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren, baik yang berkaitan dengan kegiatan ibadah, seperti, sholat berjama’ah, wirid dan do’a, dll. Disamping itu, masjid dipergunakan sebagai tempat kegiatan pendidikan santri dalam mempelajari kitab-kitab klasik. Selanjutnya, seiring perkembangan dengan bertambahnya jumlah santri, maka kegiatan pelajaran berlangsung di bangku, tempat khusus, dan ruang-ruangan khusus untuk halaqah. Perkembangan terakhir menunjukan adanya ruangan kelas sebagaimana terdapat di madrasah-madrasah.
Kedudukan Masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dasar sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid, sejak masjid al-Quba didirikan di dekat Madinah pada masa nabi Muhammad saw., tetap terpencar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi Masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Dimana pun orang Islam berada mereka selalu menggunakan Masjid sebagai tempat pertama pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan musyawarah.
Seorang Tuan Guru yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan Masjid di dekat rumahnya. Masjid inilah yang nantinya digunakan oleh Tuan Guru untuk mengajar santrinya. Dari sini pula para santri mengenal tata cara kewajiban sholat lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban lainnya dalam agama.
Dalam perspektif sejarah Islam masjid tidak hanya sarana kegiatan pendidikan, lebih jauh dari itu masjid juga menjadi pusat bagi segenap aktivitas Nabi Muhammad saw dalam berinteraksi dengan umat. Masjid juga dikatakan sebagai pranata penting masyarakat Islam. Dalam pandangan Nurcholis Madjid, adanya masjid merupakan modal utama Nabi ketika berjuang menciptakan Masyarakat beradab itulah dalam istilah Nurcholis Madjid yang kini populer dengan sebutan masyarakat madani (Civil Society).
c. Santri
Santri sebagai elemen ketiga dari kultur pesantren yang merupakan unsur pokok yang tidak kalah pentingnya dari empat unsur lainya. Biasanya santri terdiri dari dua kelompok. Pertama, santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah jauh yang menetap dalam pondok pesantren. Kedua, santri kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap di pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran pesantren. Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Semakin besar pesantrennya, semakin besar santri mukimnya. Dengan kata lain pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalongnya daripada santri mukim. Santri mukim dengan Tuan Guru pimpinan pesantren serta anggota lainya, biasanya tinggal dalam suatu lingkungan tersendiri. Inilah yang disebut dengan pondok. Disinilah Tuan Guru dengan santrinya tinggal. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara santri dengan Tuan Guru sangat bermanfaat dalam rangka bekerja sama memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan lainya.